Pulau Santan Yang Indah
SANTAN pekat dari puluhan butir kelapa bercampur bumbu dimasak dalam satu kuali. Harumnya terkembang ke udara menjanjikan kelezatan. Inilah cita rasa warisan negeri nyiur melambai.
Mak Yuniar (60) sejak pagi hari sibuk memasak singgang ikan bilih di pekarangan rumahnya di Nagari Sumpur, di tepian Danau Singkarak, Sumatera Barat. Di atas tungku dari batu bersusun dengan arang batok kelapa sebagai bahan bakarnya, bertengger kuali besar berisi santan kental. Pucuk daun ubi kayu, cabe rawit, bawang, asam, dan daun kunyit ikut tenggelam di dalamnya.
Sejurus kemudian, Yuniar menuang ikan-ikan bilih dari Singkarak, danau yang berjarak hanya sepelemparan batu dari rumahnya. Ikan bilih ”berenang-renang” dalam gelegak santan yang menyatukan semua cita rasa menu singgang. Harum santan yang terjerang di atas tungku berjam-jam itu melayang ke udara dan menggedor indera pencecap kelezatan.
Untuk menyajikan singgang dengan 2 liter ikan bilih dan 15 ikat daun pucuk ubi itu, Yuniar memeras santan dari 30 butir kelapa.
Penggunaan santan dalam hidangan ini memang tidak main-main. ”Kalau kelapanya sedikit, masakan tak sedap. Nanti dikira pelit pula oleh tetangga, ha-ha-ha,” ujar Yuniar, yang keahliannya memasak singgang diakui warga di kampung itu. Setiap kali ada acara adat atau kenduri, Yuniar didaulat membuat singgang.
Ini makanan istimewa. Jarang didapati di rumah-rumah makan minang yang tersebar di hampir setiap kelokan jalan. Kita hanya bisa menemukannya di acara-acara kenduri atau pertemuan adat. Siang itu, Yuniar memasak singgang untuk sajian makan bersama di acara pertemuan adat Nagari Sumpur yang membicarakan rencana restorasi lima rumah gadang yang terbakar.
Singgang hanya satu dari seabrek kuliner Minangkabau yang tidak basa-basi dalam menggunakan santan. Jika memasak rendang, Yuniar menggunakan santan dari 4-10 butir kelapa untuk setiap kilogram daging sapi yang dimasak. Itu sebabnya, memasak makanan untuk sebuah perhelatan adat bisa menghabiskan ratusan kelapa. Apalagi menu yang dimasak bukan hanya rendang dan singgang, melainkan makanan bersantan lainnya, mulai dari gulai hingga makanan penutup, seperti lapet dan bika.
Nyiur melambai
Kelapa, si tanaman pencinta matahari, sejak lama menjadi bagian Nusantara. Pustaka Sansekerta menyebutkan, kelapa telah dikenal di India sedari awal tahun Masehi. Pada kurun yang sama, diduga kelapa juga telah dikenal di Kepulauan Melayu, demikian mengutip tulisan San Afri Awang dalam buku Kelapa, Kajian Sosial Ekonomi (1991).
Salah satu surga kelapa adalah Tanah Sumatera. Dalam perjalanan tahun 1292 hingga 1293, penjelajah Marcopolo terkesima melihat betapa banyaknya pohon kelapa di Sumatera. Kelapa tumbuh mulai di pantai sampai dataran tinggi berbukit.
Kelapa yang tumbuh di Nusantara lantas diincar penguasa kolonial. Namun, baru tahun 1883, kelapa diumumkan sebagai produk ekspor. Kejayaan kelapa Nusantara berlangsung panjang. Sebelum Perang Dunia II, Indonesia pernah menjadi produsen kelapa nomor satu di dunia (San Afri Awang, 1991).
Rezeki perkebunan kelapa masih bisa dirasakan banyak orang Sumatera, termasuk Minang, hingga sekarang. Tengoklah Kabupaten Padang Pariaman. Di daerah pantai itu, pohon kelapa tumbuh subur hampir di setiap pekarangan rumah. Menurut catatan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat, kawasan itu menghasilkan 36.734 ton kelapa tahun 2011.
Karena kelapa banyak tumbuh di tanah Minang, masakan di sana pun banyak yang bersantan. Hal ini amat logis sebab lingkungan sangat memengaruhi corak makanan, tradisi makan, dan tradisi masak suatu masyarakat.
Mari kita lihat. Kebutuhan santan yang banyak menciptakan rantai produksi santan yang khas dan efisien, mulai dari memetik, mengupas, memarut, hingga memeras santan. Jika di Jawa kelapa dipetik manusia, di Tanah Minang kelapa dipetik beruk yang lebih cekatan memanjat dan merontokkan kelapa tua. ”Di sini (Minang) hampir tidak ada manusia yang memanjat kelapa. Pekerjaan itu untuk beruk saja,” ujar Isal (33), warga Padang Pariaman.
Kelapa yang dipetik beruk kemudian dikupas sabutnya dengan semacam patok besi tajam yang ditanam di tanah. Lihatlah bagaimana Abu Kasal (58), pengupas kelapa asal Padang Pariaman, mengupas kelapa. Ia menghunjamkan kelapa ke besi tajam itu dan menarik sabutnya. Dua-tiga kali hunjaman dan tarikan yang ia lakukan sudah cukup untuk melepaskan sabut dari batok kelapa. Tidak heran jika setiap hari ia bisa mengupas 2.000 butir kelapa. Kalau dia mengupas dengan pisau atau golok, berapa hari dia perlukan untuk mengupas kelapa sebanyak itu?
Untuk menghasilkan serbuk kelapa, orang Minang menggunakan alat kukur. Alat ini lebih cepat menghasilkan serbuk dibandingkan dengan parutan yang biasa digunakan di Jawa. Mereka juga menciptakan alat pemeras santan yang disebut kacik. Bentuknya mirip pelana dengan dua kayu penjepit.
Buntalan serbuk kelapa diselipkan di antara kayu penjepit. Orang Minang tinggal mendudukinya dan santan pun keluar dengan derasnya. Cara memeras seperti ini cepat dan tidak membuat tangan lecet-lecet.
Rantai bisnis
Rantai bisnis kelapa di Minangkabau pun memperlihatkan corak yang khas. Perkebunan kelapa umumnya dimiliki rakyat. Kelapanya dipetik beruk-beruk milik tukang ojek beruk. Setiap butir kelapa yang dipetik beruk, pemilik kebun harus membayar Rp 150 kepada tukang ojek beruk. Dari tukang ojek beruk, kelapa diserahkan kepada tukang kupas kelapa. Pemilik kebun membayar lagi Rp 150 per butir kelapa yang dikupas tukang kupas.
Dari tangan tukang kupas, kelapa beralih ke pengepul kelapa yang setiap hari keliling kampung dengan mobil bak terbuka. Pengepul seperti Noval (28) yang tinggal di Nagari Ketaping, Korong Pauh, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman, bisa mengepul 6.000 kelapa per hari.
Sebutir kelapa yang telah dikupas ia beli Rp 1.600. Setiap hari ia menjual 2.000 butir kelapa ke pasar dan rumah makan. Sebutir kelapa ia hargai Rp 2.000-Rp 2.500. Sisa kelapa ia pasok ke pabrik santan kemasan.
Usaha itu ia warisi dari ayahnya sejak 10 tahun lalu. Dia pun berjualan santan di Pasar Lubuk Buaya, Padang. Sehari, 300 butir kelapa diolah menjadi 100 kilogram santan yang dihargai Rp 12.000 per kilogram.
Kucuran santan itu nantinya bertemu ragam bumbu dan bahan lain dalam kuali. Mungkin santan itu mengalir juga ke singgang buatan Yuniar yang sudah tanak. Daun singkong dan ikan bilih yang dimasak dengan santan kental dari puluhan kelapa itu amat lembut di lidah, gurih, dan kaya rasa bumbu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar