Sejumlah wisatawan asing berjemur di hamparan pasir hitam. Sejumlah pasangan turis berjalan santai menyusuri pantai. Santai, seolah menikmati setiap detail keelokan yang tersaji di kawasan Bali utara ini.
Pantai Lovina merupakan salah satu tempat wisata yang terkenal di Bali. Letaknya sangat strategis karena berada di ibu kota pemerintahan Kerajaan Singaraja. Lovina boleh dibilang merupakan duta Singaraja untuk dunia.
Dibutuhkan perjalanan darat selama kurang lebih tiga jam dari Denpasar untuk mencapai Lovina. Akses jalan melalui kawasan Danau Bedugul bagus beraspal hotmix. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi jalanan yang berkelok, menanjak, dan menurun mengitari bukit.
Made Darmawan, teman kami yang menjadi pengusaha setempat, mengatakan, Lovina tak pernah sepi dari turis. Kehadiran turis asing yang dominan dibandingkan turis lokal membuat bisnis pariwisata di Lovina terus menggeliat.
Dominasi turis asing di Lovina bukan cerita baru. Sejarah mencatat, Lovina bisa hidup, terkenal, dan bertahan berkat pelancong dari negeri tetangga. Wisatawan domestik justru hadir belakangan, setelah Lovina mencuri perhatian dunia.
Pemilik Lovina Beach Hotel, Anak Agung Ngurah Sentanu, menceritakan, Lovina lahir dari impian seorang pujangga pada tahun 1950-an bernama Anak Agung Pandji Tisna. Impian itu muncul sepulang sang pujangga dari perjalanan ke sejumlah negara di Eropa dan Asia.
”Saat itu, Pandji berkunjung ke Mumbai, India. Ia melihat sebuah tempat di tepi pantai yang ditata indah untuk bersantai. Tempat itu memiliki kesamaan dengan kawasan pantai di Bali utara, tepatnya di Kabupaten Buleleng,” ujarnya.
Sepulang dari perjalanan tahun 1953, Pandji Tisna membangun sebuah pondok di tepi pantai yang kemudian diberi nama Lovina. Kata Lovina diambil dari kata love dan ina. Ina merupakan kependekan dari kata Indonesia.
Lovina dibangun sebagai penginapan bagi pelancong yang ingin menikmati pesona alam di pantai ”perawan”, belum banyak terjamah manusia. Bahkan karena keperawanan kawasan itu, lumba-lumba pun betah tinggal di lepas Pantai Lovina.
Fasilitas penginapan di Lovina pada awalnya hanya ada tiga kamar tidur dan sebuah restoran. Walau minim, Lovina, yang selanjutnya berpindah tangan dari Pandji Tisna kepada Sentanu pada 1959, tak pernah sepi. Waktu itu, Singaraja masih menjadi ibu kota Kepulauan Sunda Kecil dan Provinsi Bali.
Dalam perjalanannya, Lovina sempat diterpa ”badai”. Mula-mula, Lovina mendapat tanggapan miring dari kalangan pelaku bisnis di Bali. Lovina dianggap mustahil berkembang karena tempatnya terpencil, terlalu jauh dari kawasan Denpasar yang sudah menjadi pusat turis. ”Pantainya biasa, pasirnya juga hitam tidak seperti pantai Kuta yang berpasir putih,” ujar Sentanu.
Seiring waktu, guncangan badai terhadap kawasan Lovina makin hebat. Pada 1960-an, ibu kota pemerintahan dipindahkan dari Singaraja ke Denpasar. Dampaknya, para pejabat dan pelaku bisnis yang sebelumnya sering menginap di Lovina tak lagi datang.
Satu-satunya napas Lovina adalah kunjungan turis asing. Namun, itu juga tak bertahan lama. Dunia pariwisata internasional kehilangan Lovina ketika Gubernur Bali Ida Bagus Mantera pada 1980 melarang penggunaan nama Lovina. Alasannya, nama itu bukan kosakata bahasa Bali. Nama Lovina pun diganti dengan kawasan wisata Kalibukbuk yang diambil dari nama desa. Ini menjadi klimaks dari derita Lovina.
Seiring terkuburnya nama Lovina dari masyarakat, dunia benar-benar kehilangan Lovina. Lovina akhirnya keluar dari keterpurukan setelah industri pariwisata dunia mulai banyak mempertanyakan.
Nama Lovina pun dipakai lagi. Turis asing kembali berbondong-bondong datang menginap. Pembangunan Bandara Internasional Ngurah Rai di Kuta mempermudah akses wisatawan menjangkau Lovina.
Di kalangan masyarakat Buleleng, Lovina disambut dengan euforia. Banyak desa di sekitar penginapan latah, mengklaim diri masuk kawasan Lovina. Total ada enam desa di Kecamatan Bulelang dan Banjar.
Sebagai mantan Ketua Perhimpunan Pengusaha Hotel dan Restoran, Sentanu mencatat ratusan hotel dan rumah makan menjamur di sepanjang desa itu. Beragam usaha jasa dan perdagangan pendukung sektor pariwisata, maju pesat sebagai jantung ekonomi penduduk lokal.
Pantai Lovina merupakan salah satu tempat wisata yang terkenal di Bali. Letaknya sangat strategis karena berada di ibu kota pemerintahan Kerajaan Singaraja. Lovina boleh dibilang merupakan duta Singaraja untuk dunia.
Dibutuhkan perjalanan darat selama kurang lebih tiga jam dari Denpasar untuk mencapai Lovina. Akses jalan melalui kawasan Danau Bedugul bagus beraspal hotmix. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi jalanan yang berkelok, menanjak, dan menurun mengitari bukit.
Made Darmawan, teman kami yang menjadi pengusaha setempat, mengatakan, Lovina tak pernah sepi dari turis. Kehadiran turis asing yang dominan dibandingkan turis lokal membuat bisnis pariwisata di Lovina terus menggeliat.
Dominasi turis asing di Lovina bukan cerita baru. Sejarah mencatat, Lovina bisa hidup, terkenal, dan bertahan berkat pelancong dari negeri tetangga. Wisatawan domestik justru hadir belakangan, setelah Lovina mencuri perhatian dunia.
Pemilik Lovina Beach Hotel, Anak Agung Ngurah Sentanu, menceritakan, Lovina lahir dari impian seorang pujangga pada tahun 1950-an bernama Anak Agung Pandji Tisna. Impian itu muncul sepulang sang pujangga dari perjalanan ke sejumlah negara di Eropa dan Asia.
”Saat itu, Pandji berkunjung ke Mumbai, India. Ia melihat sebuah tempat di tepi pantai yang ditata indah untuk bersantai. Tempat itu memiliki kesamaan dengan kawasan pantai di Bali utara, tepatnya di Kabupaten Buleleng,” ujarnya.
Sepulang dari perjalanan tahun 1953, Pandji Tisna membangun sebuah pondok di tepi pantai yang kemudian diberi nama Lovina. Kata Lovina diambil dari kata love dan ina. Ina merupakan kependekan dari kata Indonesia.
Lovina dibangun sebagai penginapan bagi pelancong yang ingin menikmati pesona alam di pantai ”perawan”, belum banyak terjamah manusia. Bahkan karena keperawanan kawasan itu, lumba-lumba pun betah tinggal di lepas Pantai Lovina.
Fasilitas penginapan di Lovina pada awalnya hanya ada tiga kamar tidur dan sebuah restoran. Walau minim, Lovina, yang selanjutnya berpindah tangan dari Pandji Tisna kepada Sentanu pada 1959, tak pernah sepi. Waktu itu, Singaraja masih menjadi ibu kota Kepulauan Sunda Kecil dan Provinsi Bali.
Dalam perjalanannya, Lovina sempat diterpa ”badai”. Mula-mula, Lovina mendapat tanggapan miring dari kalangan pelaku bisnis di Bali. Lovina dianggap mustahil berkembang karena tempatnya terpencil, terlalu jauh dari kawasan Denpasar yang sudah menjadi pusat turis. ”Pantainya biasa, pasirnya juga hitam tidak seperti pantai Kuta yang berpasir putih,” ujar Sentanu.
Seiring waktu, guncangan badai terhadap kawasan Lovina makin hebat. Pada 1960-an, ibu kota pemerintahan dipindahkan dari Singaraja ke Denpasar. Dampaknya, para pejabat dan pelaku bisnis yang sebelumnya sering menginap di Lovina tak lagi datang.
Satu-satunya napas Lovina adalah kunjungan turis asing. Namun, itu juga tak bertahan lama. Dunia pariwisata internasional kehilangan Lovina ketika Gubernur Bali Ida Bagus Mantera pada 1980 melarang penggunaan nama Lovina. Alasannya, nama itu bukan kosakata bahasa Bali. Nama Lovina pun diganti dengan kawasan wisata Kalibukbuk yang diambil dari nama desa. Ini menjadi klimaks dari derita Lovina.
Seiring terkuburnya nama Lovina dari masyarakat, dunia benar-benar kehilangan Lovina. Lovina akhirnya keluar dari keterpurukan setelah industri pariwisata dunia mulai banyak mempertanyakan.
Nama Lovina pun dipakai lagi. Turis asing kembali berbondong-bondong datang menginap. Pembangunan Bandara Internasional Ngurah Rai di Kuta mempermudah akses wisatawan menjangkau Lovina.
Di kalangan masyarakat Buleleng, Lovina disambut dengan euforia. Banyak desa di sekitar penginapan latah, mengklaim diri masuk kawasan Lovina. Total ada enam desa di Kecamatan Bulelang dan Banjar.
Sebagai mantan Ketua Perhimpunan Pengusaha Hotel dan Restoran, Sentanu mencatat ratusan hotel dan rumah makan menjamur di sepanjang desa itu. Beragam usaha jasa dan perdagangan pendukung sektor pariwisata, maju pesat sebagai jantung ekonomi penduduk lokal.
21.43 | 0
komentar | Read More